Akademisi: Polemik RUU KPK Harus Disikapi dengan Bijak

Jum'at, 20 September 2019 - 22:32 WIB
Akademisi: Polemik RUU KPK Harus Disikapi dengan Bijak
Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Al Ghifari Bandung Moch Zakaria (kanan) dan Kepala Program Studi Administrasi Publik Fisip Unpas Bandung Rudi Martiawan dalam diskusi terkait polemik RUU KPK, Jumat (20/9/2019). Foto/SINDOnews/Agung Bakti
A A A
BANDUNG - Pro dan kontra yang menyertai Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang telah disahkan DPR RI dinilai harus disikapi dengan bijak demi terjaganya keutuhan bangsa.

Dekan Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Al Ghifari Bandung Moch Zakaria berpendapat, polemik yang terjadi di masyarakat pascaperubahan merupakan hal yang lumrah. Namun, respons masyarakat yang dinamis tersebut tetap harus dicermati, agar perubahan tidak memicu konflik sosial di masyarakat.

"Jadi, perubahan ini lumrah, tapi bagaimana semua pihak menjaga agar tidak terjadi ekses di masyarakat, yaitu konflik sosial. Jangan sampai persoalan di tingkat atas, sementara di tingkat bawah terjadi konflik," ujar Zakaria dalam diskusi di Kampus Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Jalan Lengkong, Kota Bandung, Jumat (20/9/2019).

Agar tidak memicu konflik sosial, Zakaria meminta semua pihak bersikap bijak dalam menyikapi polemik RUU KPK dengan cara memilah sudut pandang dalam menilai RUU KPK. Sebab, kata Zakaria, aspek politik, hukum, dan administrasi tak dapat dilepaskan dalam sebuah perubahan di dalam sebuah organisasi.

"Dalam sosiologi, konflik bisa terjadi karena kekuasaan, kepemimpinan, dan kewenangan. Sudut pandang ini menjadi bagian solusi, tapi karena di situ ada aspek politik, hukum, dan administrasi, ini yang harus kita urai dulu," jelasnya.

Oleh karenanya, Zakaria juga mengimbau agar pihak-pihak terkait mampu memberikan penjelasan yang terintegrasi dan menyeluruh kepada masyarakat terkait RUU KPK ini. Terlebih, dia menilai, polemik RUU KPK terjadi akibat tidak singkronnya antara aspek politik, hukum, dan administrasi.

"Jadi jangan tumpang tindih. Orang politik bicara hukum atau orang hukum bicara administrasi, ini akan direspons masyarakat. Akhirnya, psikologi masyarakat digiring ke dua kata yang menimbulkan polemik, (RUU KPK) pelemahan dan penguatan," paparnya.

Meski begitu, Zakaria juga meyakinkan, selain lumrah, hakekat perubahan dalam sebuah organisasi tentunya demi adanya perbaikan. Sehingga, perubahan tersebut seiring sejalan dengan penguatan kinerja KPK dalam memberantas praktik korupsi ke depan.

Lebih lanjut Zakaria mengaku yakin, meski sebagian masyarakat merasa kehilangan kepercayaan terhadap KPK pascapengesahan RUU KPK, namun ke depan, masyarakat akan tetap percaya KPK. Agar hal itu terwujud, perlu dilakukan pendekatan-pendekatan agar tujuan RUU KPK bisa benar-benat dipahami masyarakat.

"Saya yakin masyarakat akan tetap percaya kepada KPK pascadisahkannya RUU KPK dan yang harus dilakukan saat ini adalah pihak-pihak terkait harus mulai dari membangun kembali trust dari masyarakat," katanya.

Diakui Zakaria, kehadiran KPK tidak terlepas dari adanya kepercayaan dari masyarakat. Sehingga, perubahan yang terjadi di KPK tentu akan menimbulkan dampak yang juga menyita perhatian publik hingga terjadinya polemik.

"Reaksi publik terkait RUU KPK itu merupakan sebuah respons yang wajarz tetapi itu harus diperhatikan oleh pihak terkait karena negara kita ini demokratis," tandasnya.

Di tempat yang sama, Kepala Program Studi Administrasi Publik Fisip Unpas Bandung Rudi Martiawan mengatakan, pihak eksekutif dan legislatif harus mampu memberikan edukasi kepada masyarakat terkait tujuan RUU KPK.

"Bentuk edukasi untuk publik, jadi publik diberikan penjelasan tentang perubahan dan dampak dari RUU KPK dan solusinya tanpa disusupi kepentingan yang lain," katanya.

Rudi khawatir, aksi unjuk rasa masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini malah disusupi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pihak tersebut memanfaatkan ketidakpercayaan sebagaian masyarakat kepada DPR yang melakukan manuver di akhir periode kerjanya.

"Sehingga timbul demo, ada emosional dan rasional. Sementara validitas isunya patut dipertanyakan. Saya takutkan demo itu jadi alat politik demi kepentingan penyusup," katanya.
(abs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.8572 seconds (0.1#10.140)