Pakar HTN Fahri Bachmid: Revisi UU KPK Keniscayaan Legislasi

Kamis, 12 September 2019 - 13:51 WIB
Pakar HTN Fahri Bachmid: Revisi UU KPK Keniscayaan Legislasi
Pakar hukum tata negara Dr Fahri Bachmid SH MH. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Sejumlah profesor dan doktor dari beberapa kampus tertentu menyampaikan pernyataan penolakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menganggap revisi UU KPK bakal melemahkan kewenangan lembaga antirasuah tersebut.

Menanggapi hal itu, pakar hukum tata negara (HTN) Dr Fahri Bachmid SH MH mengatakan, apakah sikap profesor dan doktor yang menolak revisi UU KPK tersebut sudah menyertakan hasil penelitian dan kajian mendalam secara akademik sesuai prinsip keilmuan? Atau hanya akrobat belaka?

Fahri mengatakan, jika tanpa penelitian dan kajian, penolakan tersebut merupakan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip keilmuan sebagai suatu entitas akademisi.

"Hal yang demikian itu dapat dikualifisir sebagai sikap tendensius, prematur, dan ceroboh. Idealnya penolakan harus disertai dengan naskah kajian komprehensif, penelitian mendalam, dan substantif. Bukan berdasar opini dan asumsi semata," kata Fahri, Kamis (12/9/2019).

Menurut Fahri, revisi UU KPK merupakan keniscayaan legislasi. Dia meyakini rencana revisi UU KPK sudah melalui pertimbangan filosofis, teleologis, yuridis, sosiologis, dan komparatif, serta telah memperhatikan kaidah-kaidah pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU RI Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan.

Dengan demikian, ujar Fahri, revisi UU KPK nantinya legitimate, baik secara yuridis maupun politis untuk kepentingan pemberantasan korupsi di masa yang akan datang

Diketahui, ada enam pokok isu hukum utama dalam revisi UU KPK tersebut. Misalnya soal keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan SP3, status pegawai KPK, kedudukan hukum KPK sebagai cabang kekuasaan eksekutif, dan posisi KPK sebagai lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.

Fahri menilai, sebagai basis analisis dalam draf revisi UU KPK saat ini merupakan gabungan dan evaluasi terhadap rezim pencegahan dan penindakan sebagai suatu instrumen vital dan strategis KPK selama ini. Hal tersebut, merupakan konsen politik hukum DPR dalam revisi terbatas atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

"Ada semacam rencana penataan signifikan atas hal tersebut yang diorientasikan ke depan tentunya," ujar Fahri yang juga alumni program Doktor Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar ini.

Fahri menuturkan, surat presiden (Surpres) yang dikirimkan kepada Ketua DPR untuk pembahasan revisi UU KPK secara teknis ketatanegaraan sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD RI Tahun 1945.

Dengan surpres tersebut, tutur Fahri, pembahasan RUU KPK segera dimulai. Fahri meminta beberapa hal untuk diperhatikan jika revisi UU KPK tersebut sudah mulai dibahas.

Misalnya, soal pendalaman terhadap filosofi pencegahan dengan rehabilitasi yang berorientasi kepada keadilan restoratif dan sistem pemidanaan yang bertumpu kepada prinsip “deterrent effect” (efek jera).

"Konsep penghukuman ini menjadi penting didalami secara serius dan substantif dalam rangka membangun sistem hukum Tipikor yang kuat dan kredible, ke depan. Ini merupakan momentum penting untuk diselesaikan," tutur Fahri.

Dia mengungkapkan, dasar rencana revisi UU KPK adalah dalam rangka memperkuat kelembagaan serta untuk memastikan independensi KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemberantasan korupsi, bukan untuk penataan yang bersifat destruktif.

"Hendaknya semua kalangan dapat menyikapi semua ini dengan pikiran yang jernih dan masukan serta argumentasi akademik yang lebih konstruktif demi perbaikan bangsa dan negara kedepan," tutup Fahri yang juga pernah menjadi kuasa hukum TKN Jokowi-Ma'ruf dalam sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi ini.
(awd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.7477 seconds (0.1#10.140)