Peneliti UI Sarankan Masyarakat Cerdas dalam Menerima dan Mengolah Informasi

Selasa, 03 September 2019 - 22:09 WIB
Peneliti UI Sarankan Masyarakat Cerdas dalam Menerima dan Mengolah Informasi
Peneliti dari Klinik Digital Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) terus menggaungkan agar masyarakat cerdas dalam menerima dan mengolah informasi. Foto SINDO Media/R Ratna P
A A A
DEPOK - Peneliti dari Klinik Digital Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) terus menggaungkan agar masyarakat cerdas dalam menerima dan mengolah informasi. Para peneliti ini melakukan roadshow dalam program Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ke berbagai wilayah dan tema berbeda.

Kali ini tema yang diangkat adalah ‘Kecerdasan Digital. Antibodi Serangan Hoax’ yang diikuti 200 peserta dari 24 perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Hadir dalam kesempatan tersebut, Mohammad Winugroho dari Universitas Djuanda Bogor, Netti Herawati dari Universitas Riau dan Rasmita dari Universitas Djuanda.

Peneliti Klinik Digital Vokasi UI, Devie Rahmawati mengatakan, gelombang panas hoax yang hadir setiap hari telah banyak menimbulkan tsunami sosial di banyak negara, tak terkecuali Indonesia.

Studi kasus di India misalnya, dalam dua bulan saja, hoax mampu membuat masyarakat India saling menyakiti hingga menimbulkan korban jiwa sebanyak 20 orang. Korban jiwa akibat tersapu arus berita hoax juga menimpa masyarakat negara maju seperti Amerika Serikat dalam kasus penembakan di salah satu rumah ibadah di Charleston.

“Hasil penelitian Andreas Harsono selama 15 tahun misalnya mengungkap bahwa dalam beberapa moment bersejarah yang mengandung aksi kekerasan di negeri ini, hampir semuanya dimulai dengan adanya hoax, sebut saja kasus 65, 74, 98. Tidak hanya itu, masyarakat lokal juga tidak steril dari konflik yang diawali hoax, seperti Maluku, yang konfliknya diawali dari isu agama,” katanya, Selasa (3/9/2019).

Terbaru adalah kasus Papua yang menurut Devie sepertinya memiliki pola yang sama, yaitu konflik ditengarai oleh berita hoax yang disebarluaskan. Untuk itu, pembatasan sementara jaringan komunikasi menjadi keputusan yang strategis.

Mengingat, kehadiran internet saat ini, bila diilustrasikan internet adalah mobil, maka masyarakat saat ini seakan-akan sedang mengendarai mobil. Namun, masyarakat belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk berkendara. Sehingga yang terjadi ialah masyarakat pengguna interent bak laksana sopir yang tidak terampil, menabrak kesana dan kemari.

“Dalam situasi dengan potensi ekskalasi konflik tinggi, para pengguna internet memang harus dibatasi, karena dikhawatirkan kebiasaan mereka berselancar di internet, justru akan menambah masalah baru,” ujarnya yang juga Peneliti Komunikasi Sosial Budaya.

Dia melihat, ketidakmampuan masyarakat dalam memilih dan memilah berita, bukanlah hanya menjadi kelemahan bangsa ini. Studi di AS terhadap mahasiswa di 12 negara bagian, ternyata mengalami kondisi yang sama. “Siswa di AS juga kesulitan untuk membedakan antara iklan dan berita sekalipun, “ tandas Devie.

Sementara itu, Penggiat Pendidikan Keluarga, Netti Herawati menambahkan, salah satu upaya memberdayakan masyarakat agar siap melawan hoax, melalui gizi. Menurutnya, kekurangan gizi membuat anak menghadapi kasus Gagal Tumbuh Kembang dan Metabolisme.

“Salah satu upaya memberdayakan masyarakat agar siap melawan hoax, melalui gizi. Kekurangan gizi akan membuat anak menghadapi kasus Gagal Tumbuh Kembang dan Metabolisme (diabetes, obesitas, jantung, pembuluh darah, kanker, stroke dan disablitas saat lansia,” tandasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.4702 seconds (0.1#10.140)